PARENTINGISLAM.ID – – Perbuatan nusyuz dalam rumah tangga sering diartikan dan dimaknai sebagai tindakan atau perbuatan seorang istri yang tidak patuh pada suami atau istri membangkan kepada suami. Sementara suami dianggap tidak ada atau tidak pernah melakukan perbuatan nusyuz.
Benarkah demikian? Apakah Nusyuz hanya “milik” istri ? dikutip dari buku Membingkai Surga Dalam Rumah Tangga karya Aam Amiruddin & Ayat Priyatna Muhlis, berikut ini penjelasan lengkapnya:
Pengertian Nusyuz
An-nasyz atau an-nasyaz artinya tempat yang tinggi. Arti kata nusyuz dalam pemakaiannya berkembang menjadi durhaka (al-isyan) atau tidak patuh sebagai lawan kata dari qunut (senantiasa patuh).
Nusyuz merupakan sikap tidak patuh dari salah seorang di antara suami atau istri.Ibnu Manzur (630H/1232M-711H/1311M), ahli bahasa Arab, dalam Lisan al Arab (Ensiklopedi Bahasa Arab) mendefinisikan nusyuz sebagai rasa benci salah satu pihak (suami atau istri) terhadap pasangannya.
Wahbah az-Zuhaili, guru besar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih Universitas Damaskus, mengartikan nusyuz sebagai ketidakpatuhan salah satu pasangan terhadap apa yang seharusnya dipatuhi atau
rasa benci terhadap pasangannya. Redaksi lain menyebutkan bahwa nusyuz berarti tidak taatnya suami atau istri kepada pasangannya secara tidak sah atau tidak cukup alasan.
Apabila terjadi pembangkangan terhadap suami yang memang tidak wajib dipatuhi, sikap itu tidak dapat dikategorikan sebagai nusyuz. Misalnya, suami yang menyuruh istrinya berbuat maksiat kepada Allah Swt. Atau, apabila seorang istri menuntut sesuatu di luar kemampan suaminya, lalu suaminya tidak memenuhinya, suami tersebut tidak dapat dikatakan nusyuz terhadap istrinya.
Nusyuz berawal dari salah satu pihak–suami atau istri yang merasa benci atau tidak senang terhadap pasangannya. Jika sikap tersebut terjadi pada kedua pihak secara bersama-sama, hal itu bukan termasuk nusyuz melainkan syikak (syiqaq).
Nusyuz pihak istri berarti kedurhakaan atau ketidakpatuhan istri terhadap suami. Nusyuz pihak istri dapat terjadi apabila istri tidak menghiraukan hak suami. Nusyuz pihak suami terhadap istri lebih banyak berupa kebencian atau ketidaksenangan terhadap istrinya sehingga suaminya menjauh atau tidak memerhatikan istrinya. Selain nusyuz pihak suami, ada juga istilah i‘rad (berpaling).
I‘rad adalah sikap suami yang tidak menjauhi istri melainkan hanya tidak mau berbicara dan tidak menunjukkan kasih sayang kepada istrinya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa setiap nusyuz pasti i‘rad, tetapi setiap i‘rad belum tentu nusyuz.
Hukum Nusyuz dan Jalan Keluarnya
Dasar hukum nusyuz pihak istri terhadap suaminya adalah Surat An-Nisaa (4) ayat 34, “…Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan berbuat nusyuz hendaklah kamu menasihati mereka, pisahlah dari tempat tidur mereka (pisah ranjang), dan jika perlu, pukullah mereka. Namun, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menceraikannya. Sesungguhnya, Allah Mahatinggi, Mahabesar..”
Adapun dasar hukum nusyuz pihak suami terhadap istrinya disebutkan pada Surat An-Nisaa (4) ayat 128,
“Jika seorang wanita khawatir suaminya berlaku nusyuz atau bersikap tidak acuh, keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Jika kamu memperlakukan istrimu dengan baik dan menjauhkan diri dari nusyuz dan sikap tak peduli, sesungguhnya Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ada empat tahap jalan keluar yang diberikan Islam untuk mengatasi nusyuz seorang istri terhadap suaminya yang didasarkan pada Surat An-Nisaa [4] ayat 34, yaitu sebagai berikut.
Tahap Pertama, memberikan nasihat, petunjuk, dan peringatan tentang ketakwaan kepada Allah Swt., serta hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga. Namun demikian, sebelum menasihati istrinya, suami harus introspeksi terlebih dahulu apakah sikap istrinya bersumber darinya atau dilatarbelakangi oleh sikapnya sendiri. Jika memang demikian, bukan nasihat yang harus diberikan kepada istrinya, melainkan memperbaiki diri sendiri yang harus diutamakan. Namun, jika terbukti nusyuz istri bersumber dari diri istri, nasihat, petunjuk, dan peringatan harus diberikan dengan bijaksana dan lemah lembut.
Tahap kedua, berpisah ranjang dan tidak saling bertegur sapa. Ini merupakan tahap lanjutan jika tahap pertama tidak berhasil mengubah sikap nusyuz istri. Khusus mengenai tidak bertegur sapa, tidak diperbolehkan lebih dari tiga malam.
Tahap Ketiga, memukul istri yang nusyuz, tetapi dengan pukulan yang tidak sampai melukainya. Menurut Muhammad Ali as-Sabuni, ahli tafsir dan Wahbah az-Zuhaili, ahli fikih kontemporer, ketika melakukan pemukulan hendaklah harus dihindari,
bagian muka karena ini adalah bagian tubuh yang dihormati;
bagian perut dan bagian tubuh lain yang dapat menyebabkan kematian; dan
memukul pada banyak tempat.
Pukullah hanya pada satu tempat karena jika berpindah, akan menambah rasa sakit dan akan memperbesar kemungkinan timbulnya bahaya.
Harus diingat bahwa pemukulan ini tidak dimaksudkan untuk mencederai, apalagi membunuh, melainkan untuk mengubah sikap nusyuz-nya. Dalam memukul istri nusyuz, Mazhab Hanafi menganjurkan agar menggunakan alat berupa sepuluh lidi atau kurang dari itu atau dengan alat yang tidak sampai melukai. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Saw.,
“Tidak dibenarkan salah seorang memukul dengan pemukul yang lebih dari sepuluh lidi kecuali untuk melakukan yang telah ditetapkan Allah Swt.” (H.R. Bukari dan Muslim)
Apabila akibat pemukulan tersebut si istri nusyuz meninggal, ulama berbeda pendapat dalam hal qishash kepada suaminya.
Menurut Mazhab Maliki dan Hambali, suami yang bersangkutan tidak di-qishash karena pemukulan tersebut memang dibenarkan oleh syara. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi dan Syafi’i, harus di-qishash karena yang bersangkutan mengabaikan syarat pemukulan (tidak menjaga keselamatan istri). Kendati sebagai usaha memperbaiki sikapnya, tetap lebih baik apabila tidak memukulnya.
Hal ini berdasarkan hadits Rasululah Saw., “Dan ketiadaan memukul adalah yang terbaik bagi kamu (suami).” (H.R. Bukhari)
Tahap keempat, tahap untuk menyelesaikan persoalan syiqaq.
Namun demikian, apabila tahap pertama, kedua, dan ketiga tidak berhasil, sementara nusyuz istri sudah menimbulkan kemarahan suami dan menjurus pada syiqaq, diperlukan juru damai yang adil.
“Jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang dari keluarga perempuan. Jika kedua juru damai itu bermaksud mengadakan perbaikan, pasti Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya, Allah Mahateliti, Maha Mengenal.” (Q.S. An-Nisaa [4]: 35)
Sebagai jalan keluar dari kemelut akibat nusyuz, kedua belah pihak (suami dan istri) diperbolehkan untuk mengadakan perjanjian atau perdamaian. Materi perjanjian atau perdamaian dapat berupa apa saja sepanjang dibenarkan oleh syar’i dan disetujui oleh kedua belah pihak. Misalnya, perjanjian melepaskan hak masa tinggal atau menginap istri dari suami.
Perjanjian ini dapat dibenarkan karena maksud disyariatkannya ketentuan ini adalah untuk menjamin kemaslahatan pihak istri. Hal ini diperkuat oleh sebuah riwayat mengenai kasus Saudah r.a., salah seorang istri Rasulullah Saw. Saudah merasa takut akan ditalak oleh Rasulullah Saw., oleh karena itu dia berkata kepada Rasulullaah Saw.,
“Jangan talak saya, biarlah hak giliran saya untuk Aisyah.” Rasulullah Saw. menyetujui dan melaksanakannya.”(H.R. Tirmidzi). Lalu turun Surat An-Nisaa (4) ayat 128,
“Jika seorang wanita khawatir suaminya berlaku nusyuz atau bersikap tidak acuh, keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Jika kamu memperlakukan istrimu dengan baik dan menjauhkan diri dari nusyuz dan sikap tak peduli, sesungguhnya Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ulama fikih berbeda pendapat mengenai tindakan yang diambil suami untuk memperbaiki sikap nusyuz istrinya, apakah perlu berjenjang (berurutan) atau tidak. Menurut jumhur ulama, termasuk mazhab Hambali, tindakan tersebut harus berjenjang dan disesuaikan dengan tingkat atau kadar nusyuz istri. Yang paling penting adalah tahap-tahap tersebut dilakukan atas dasar niat yang tulus untuk memperbaiki keutuhan rumah tangga dengan penuh kasih sayang dan bukan atas dasar kebencian dan dendam.
Dengan saling menyadari kesalahan masing-masing, introspeksi diri dengan kerendahan hati untuk saling memafkan, bersikap arif dan bijaksana terhadap kesalahan (nusyuz) suami atau istri, diharapkan persengketaan tersebut akan berubah menjadi suasana yang penuh keakraban sehingga rumah tangga rukun kembali.
“Kebaikan tidak sama dengan kejahatan. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik sehingga orang yang memusuhimu akan seperti teman setia.” (Q.S. Fushshilat [41]: 34)