PARENTINGISLAM.ID – – Ada situasi di mana seorang anak sangat yakin bahwa orangtuanya tidak menyayanginya, atau memperlakukannya tidak adil daripada kepada saudara-saudaranya. Situasi yang membuat anak sampai pada taraf “yakin” ini mencokol hingga remaja bahkan dewasa. Hal tersebut mempengaruhi emosi, perilaku dan hubungannya dengan orangtua. Atau bahkan terdapat fragmen yang lebih dari itu, tidak terbatas pada hubungan emosional anak dengan orangtua. Melainkan anak dengan pelaku-pelaku sosial lain.
Gerakan Subuh Mengaji (GSM) kembali membawakan satu topik praktis dan substantif yang kali ini membahas tentang “Membimbing Pengelolaan Emosi Anak”. Bersama Yeti Widiati, seorang psikolog yang menjadi narasumber utama menginsinuasi terkait: ‘What, Why, How?’. Tentang apa sesungguhnya emosi itu (What), kenapa pembahasan tentang emosi ini menjadi penting (Why), dan bagaimana menghadapi anak yang berada dalam kondisi emosi yang sangat kuat (How).
Yeti Widiati mengatakan bahwa emosi adalah kondisi psikologi alamiah. Artinya, setiap orang pasti mengalami apa yang disebut emosi.
“Jadi, bukan suatu kesalahan apabila seseorang menjadi marah ketika haknya terambil, menjadi sedih kalau kehilangan sesuatu, menjadi takut ketika menghadapi sesuatu di luar kemampuannya. Itu semua hal yang normal. Termasuk bahagia ketika mendapat sesuatu yang kita inginkan. Semua itu adalah manifestasi fragmen-fragmen emosi,” tutur Yeti.
Mengapa Pengelolaan Emosi Menjadi Penting?
Di muka telah dijelaskan bahwa esensi dari emosi adalah alamiah. Sesuatu yang alamiah kerap kali kurang mendapat tempat teliti bagi setiap orang. Misalnya, kenapa ketika seorang anak marah, terkadang orangtua secara spontan juga ikut marah? Karena spontanitas emosi itu alamiah, tidak terbatas, atau di luar jangkauan kontrol manusia. Sesuatu yang alamiah atau tidak terbatas inilah yang kurang menjadi perhatian.
Beberapa orangtua cenderung masih gampang ‘terdikte’ oleh emosi anak. Ketika seorang anak sedih, orangtua ikut sedih. Seorang anak bahagia, orangtua ikut bahagia. Sebetulnya, semua pembalasan reaksi yang linier itu normal-normal saja. Tapi sebagai orangtua, seharusnya bisa memahami konteks daripada terdikte dengan emosi anak. Hal tersebut sebagai salah satu upaya bagaimana orangtua mengajarkan pengelolaan emosi kepada anak. Supaya presentasi emosi itu tidak begitu terdikte oleh keadaan.
Coba Rahmania bayangkan, apabila seorang anak merasa takut dengan pengalaman pertama kali masuk sekolah, apa seyogyanya orangtua juga merasa demikian? Tentu tidak, bukan? Atau misalnya seorang anak merasa begitu bahagia karena menang berkelahi dengan temannya, apa seyogyanya orangtua juga ikut bahagia? Tentu tidak, bukan? Ini adalah tentang bagaimana pentingnya mengelola emosi dengan melihat konteks.
Orangtua tidak ingin anaknya takut kepada temannya, tapi juga tidak ingin anaknya merasa sebahagia itu karena telah berhasil melukai temannya. Orangtua enggan anaknya menjadi sosok yang pemarah, tapi juga enggan kalau anaknya suatu hari mudah dimanfaatkan oleh orang lain karena terlalu lembek.
Bagaimana Membimbing Emosi Anak?
“Misalnya, ketika Anda sakit gigi, apa yang akan dilakukan dokter gigi? Dicari penyebabnya dengan ditanyain, dan prosedur medis yang lain, bukan begitu?” tutur Yeti.
Dengan membuat metafora semacam itu, Yeti Widiati mengajak untuk mensimulasikan bagaimana ketika emosi seorang anak sedang meluap. Tentu dengan mencari penyebabnya, melakukan pendekatan kasih sayang melalui pertanyaan-pertanyaan yang lembut.
Hal tersebut berarti bahwa menyingkapi emosi anak yang datang secara alamiah tidak bisa dengan sikap acuh tak acuh. Tidak bisa dengan pelampiasan alamiah juga. Tapi dengan pendekatan yang dilandasi perasaan afektif dan rasionalitas.
Apabila seorang anak marah dan akhirnya menangis karena kehilangan mainannya, bagaimana cara menyingkapinya? Mengatakan, “Udah biarin, nanti beli lagi.” Atau mengatakan, “Tidak apa-apa. Semoga ada yang nemuin mainannya adek, ya. Syukur kalau dikembalikan, kalau enggak ya tidak apa-apa. Adek harus ikhlas. Nanti kalau ada rezeki, kita beli mainan yang lebih bagus, ya.”
Banyak opsi dengan jawaban yang sangat beragam, tapi bukan redaksinya yang menjadi masalah. Melainkan semua itu harus ada landasan kasih sayang dan rasionalitas.
Langkah-Langkah Membimbing Pengelolaan Emosi Anak
Terdapat dua kelompok besar, yakni langkah preventif dan respon segera. Preventif maksudnya adalah dengan membangun fondasi sikap, pengetahuan dan keterampilan, mengupayakan proses stabilisasi dan antisipasi problem solving. Misalnya, ketika seorang anak pulang dari sekolah dan mengatakan pada Ibunya tentang ketidaknyamanannya di sekolah, apa yang seharusnya Ibu katakan? Apabila menurut pendekatan preventif, nasihat yang diberikan tidak berhenti pada ketenangan yang sifatnya sementara saja. Melainkan harus ada solusi, bagaimana jika situasi yang sama terjadi lagi? Apa yang akan dilakukan oleh anak tersebut?
Yang kedua terkait langkah atau pendekatan respon segera. Target dari pendekatan respon segera ini bukan untuk menenangkan atau membuat seorang diam ketika emosinya memuncak. Tapi lebih kepada mencegah unfinished business (masalah yang tidak tuntas) dan trauma. Terutama trauma pengasuhan.
Orangtua harus bisa melihat segala sesuatunya dengan seimbang. Kendati belum mampu secara sempurna dari segi keseimbangan berpikir, tapi harus ada upaya untuk tidak mendiskreditkan masalah apapun yang menjadi penyebab emosi anak. Orangtua harus memahami dan menguasai konteks, bergerak, bertutur dengan kasih sayang dan rasionalitas sebagai alat untuk membimbing pengelolaan emosi anak. [ ]