PARENTINGISLAM.ID – – Tentu bisa dipahami bahwa kehadiran anak atau buah hati dalam rumah tangga adalah salah satu sumber kebahagian suami istri. Namun terkadang Allah mempunyai rencana dan kehendak yang lain sehingga belum dikaruniai anak. Tetap bersabar dan ikhtiar adalah kuncinya.
Adopsi artinya pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri, dalam bahasa Arab disebut At-Tabanni. Pada tataran praktis ada dua macam pengangkatan anak (adopsi).
Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang tanpa diberi hak-hak sebagai anak kandung. Para ulama sependapat mengadopsi anak dengan cara seperti ini tidak dilarang oleh agama, bahkan kalau dilakukan dengan niat yang ikhlas akan menjadi amal saleh.
Ini misalnya anak-anak asuh yang ada dilembaga atau pesantren. Anak -anak asuh ini disantuni atau dicukupi materinya oleh orangtua asuhnya.Hanya mereka tidak tinggal dalam satu rumah. Atau juga tinggal dalam satu rumah namun statusnya tetap sebagai anak angkat.
Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri serta diberi hak-hak sebagai anak kandung, sehingga ia memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya, saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lainnya persis seperti anak kandung. Cara seperti ini hukumnya haram sebagaimana difirmankan Allah Swt.,
“…dan tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Hal itu hanyalah perkataan di mulutmu. Allah mengatakan yang sebenarnya dan menunjukkan jalan yang benar. Panggillah anak angkat itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka. Itulah yang adil di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Aĥzāb [33]: 4-5)
Menurut ulama atau ahli tafsir menyebutkan bahwa awalnya ayat ini berkaitan dengan kasus anak angkat Rasul Saw. yaitu Zaid bin Haritsah. Kata Imam al-Qurthubi, sebelum kenabian, Rasulullah Saw. pernah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anak angkatnya, beliau tidak memanggil Zaid dengan nama ayahnya (Haritsah) tetapi ditukar dengan nama Zaid bin Muhammad. Pengangkatan Zaid sebagai anaknya diumumkan Rasulullah Saw. di depan kaum Quraisy. Nabi Shalallahu alaihi wasallam. juga menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi.
Setelah Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. diangkat menjadi Rasul, turunlah surat Al-Aĥzāb ayat 4-5 ini, yang salah satu intinya melarang pengangkatan anak seperti di atas yakni saling mewarisi dan memanggilnya sebagai anak kandungnya sendiri. Ini tidak boleh atau dilarang dalam Islam. Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa kisah di atas sebagai latar belakang turunnya atau asbabun nuzulnya ayat tersebut.
Oleh karena itu berdasarkan keterangan dan analisis di atas, apabila kita mengadopsi anak untuk dicintai, diasuh, dididik, dibesarkan sebagaimana membesarkan anak sendiri, dan tidak memutuskan silaturahmi dengan orang tua kandungnya, serta tetap diberi status sebagai anak angkat, hukumnya mubah atau boleh, bahkan bernilai ibadah kalau dilakukan dengan ikhlas lillahi ta’ala.
Namun, jika kita mengadopsinya dengan memberi status sebagai anak kandung yang bisa saling mewarisi, bahkan memutuskan silaturahmi dengan orang tua kandungnya misalnya sampai dirahasiakan siapa orang tua kandungnya,siapa saudara kandungnya dan sebagainya maka hukumnya haram.
Kemudian persoalan sensitif yang sering terjadi di masyarakat kita khususnya dalam kasus adopsi ini adalah masalah warisan. Menurut hukum Islam, antara anak angkat dan orang tua angkat tidak bisa saling mewarisi. Menurut para ahli hukum Islam ada tiga sebab seseorang bisa saling mewarisi.
Pertama, Al Qarabah (seketurunan/hubungan darah), kedua, Al Mushaharah (karena hasil perkawinan yang sah), dan ketiga Al ‘Itqu (hubungan perwalian antara hamba sahaya dan wali yang memerdekakannya). Status anak angkat tidak masuk pada salah satu dari tiga sebab ini, disimpulkanlah bahwa anak angkat tidak bisa saling mewarisi dengan orang tua angkatnya.
Anak angkat bisa menerima harta dari orang tua angkatnya melalui dua cara. Pertama, melalui hibah, yaitu pemberian mutlak dari orang tua angkat kepada anak angkat sehingga harta yang dihibahkan menjadi milik mutlak anak angkatnya. Jumlah hibah tidak dibatasi, berapa pun bisa dihibahkan asal tidak menimbulkan kecemburuan dari keluarga lainnya, artinya harus bersikap adil.
Kedua, melalui wasiat, yaitu pesan penyerahan/pemberian harta secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain (dalam konteks ini orang tua angkat kepada anak angkatnya) yang berlaku setelah orang
itu wafat. Jadi, wasiat itu baru berlaku kalau orang yang berwasiatnya sudah wafat. Adapun mengenai jumlah wasiat, para ulama sepakat berdasarkan hadis Nabi Shalallahu alaihi wasallam. bahwa batas maksimal harta yang boleh diwasiatkan adalah sepertiganya.
Ketiga, persoalan berikutnya menyangkut nama nasab dalam identitas resmi misalnya akte kelahiran atau ijazah. Banyak kasus, orang tua angkat menggantikan nama orang tua kandung anak angkatnya. Misalnya, kita punya anak angkat bernama Yayat, nama orang tua kandungnya Hidayat, sedangkan orang tua angkatnya bernama Kusnadi. Seharusnya di akte kelahiran Yayat bin Hidayat, karena Hidayat ayah kandungnya. Namun kenyataannya, namanya menjadi Yayat bin Kusnadi.
Nah, cara seperti ini dilarang dalam Islam seperti diterangkan pada ayat di atas. Bagaimana kalau sudah terlanjur? Bertaubat saja kepada Allah. Bukankah Allah Subhanahu wa ta’ala. itu Maha Pengampun dan Penerima taubat? Bila anak angkat sudah dewasa, kita sebagai orang tua angkat harus berani menjelaskan duduk persoalannya agar terhindar dari murka Allah.
Lalu, bagaimana kalau tidak diketahui ayah kandungnya padahal nama ayah harus tercantum di akte kelahiran atau ijazahnya? Kalau kasusnya seperti ini, tidak masalah nama ayah angkatnya tercantum dalam akte. Namun tetap, suatu saat kalau anak itu sudah dewasa, harus dijelaskan bahwa dia adalah anak angkat. Memang akan menyakitkan, namun inilah ketentuan Allah ta’ala. yang harus kita laksanakan.
Kesimpulannya, kita diperbolehkan mengadopsi anak untuk ikut mencintai, mendidik, dan membesarkannya dengan tidak memutuskan hubungan silaturahmi dengan orang tua kandungnya, serta tetap menempatkannya sebagai anak angkat dalam hak waris, nasab, dan yang lainnya dan haram mengadopsi anak dengan memberikan hak-hak anak kandung kepadanya.
Sekali lagi menjelaskan siapa dia maksudnya anak angkat itu bukan aib. Jadi bagi orangtua yang mempunyai anak angkat maka jangan malu atau perasaan tidak enak menyampaikannya. Sebab, kalau dia tidak tahu asal usulnya atau ayah ibu kandungnya maka dikhawatirkan bisa jadi sesama saudara kandung terjadi pernikahan, sebab tidak tahun tadi. Padahal kan dalam Islam meraka saudara atau mahram sehingga haram menikah.
Kalau ini sampai terjadi maka yang salah dan dosa adalah orang tua angkatnya. Untuk itu agar terhindar dari kejadian atau kasus demikian hendaknya anak angakat diceritakan siapa orang tua kandungnya dan juga saudara-saudara. [ ]