Beranda Anak Batas Usia Anak Disebut Yatim, Ini Yang Diajarkan Islam
PARENTINGISLAM.ID – – Terkait dengan batasan usia yatim ini kita bisa merujuk pada pendapat Muhammad Mustafa al-Maraghi menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa yatim adalah Inqitaa’u shabiyyi an abiihi qablal buluugh atau anak yang ditinggal mati oleh ayahnya dalam keadaan belum baligh.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw. dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib r.a.,
“Tidak disebut yatim kalau (ditinggal mati oleh ayahnya) dalam keadaan sudah dewasa.”
Anak yatim wajib diperlakukan secara hormat, dicintai, serta dimuliakan. Rasulullah Saw. memberi penghargaan kepada orang yang mau merawat anak yatim dengan penuh cinta. Dalam sebuah haditsnya beliau bersabda,
“Saya dan orang yang merawat anak yatim dengan baik akan berada di surga bagaikan dekatnya jari telunjuk dengan jari tengah.” ( H.R. Muslim)
Pada riwayat lain Rasulullah Saw. menyatakan, “Pengasuh anak yatim, baik masih ada hubungan nasab atau orang lain, akan bersamaku di surga, dekatnya bagaikan jari telunjuk dan jari tengah.” ( H.R. Muslim).
Sampai usia berapa seseorang dikategorikan sebagai anak yatim? Dalam Q.S. An-Nisā’ [4]: 6 ada ungkapan
“Ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah...” Kalimat Cukup umur untuk menikah pada ayat ini menggambarkan bahwa seseorang tidak lagi dikatakan sebagai anak yatim apabila sudah mampu hidup mandiri.
Jadi, tidak ada batasan umur yang definitif. Pokoknya berapa pun usianya, kalau sudah bisa hidup mandiri, tidak lagi disebut sebagai anak yatim. Namun demikian mandiri dalam arti yang alamiah artinya jangan sampai anak tersebut diminta bekerja untuk menghasilkan pendapatan, padahal secara psikis masih anak-anak dan belum layak untuk bekerja secara professional.
Kemudian apabila kita tidak memiliki kepedulian untuk merawat, mencintai, memuliakan, dan mendidik anak yatim, bahkan malah menghardik dan menistakannya, Allah Swt. mengklasifi kasikan kita sebagai orangorang yang mendustakan atau mengingkari Ad-diin (agama atau hari pembalasan), sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut,
“Tahukah kamu orang yang mendus takan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi ma kan orang miskin.” ( Q.S. Al-Mā‘ūn [107]: 1-3)
Mencermati ayat ini, jelaslah bahwa kesalehan yang sesungguhnya bukan sekadar taat menjalankan ritual formal seperti shaum, shalat, dan haji, tapi harus dibarengi dengan ritual sosial, yaitu membantu meringankan beban kehidupan kaum dhuafa (fakir-miskin).
Banyak keterangan yang menjelaskan ke u ta maan meringankan beban kehidupan kaum dhuafa, di antaranya, Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah Saw. bersabda,
“Siapa yang menolong kesusahan seorang Muslim dari kesusahan-kesusahan dunia, pasti Allah akan menolongnya dari kesusahan-kesusahan akhirat. Siapa yang meringankan beban orang yang susah, niscaya Allah akan ringankan bebannya di dunia dan akhirat. Siapa yang menutup aib seorang Muslim, niscaya Allah akan tutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama si hamba itu suka menolong orang lain.” ( H.R. Bukhari)
Kesimpulannya, kesalehan yang sesungguhnya bukan sekadar taat menjalankan ritual formal seperti shaum, shalat, dan haji, tapi harus dibarengi dengan ritual sosial yaitu membantu meringankan beban kehidupan kaum dhuafa, salah satunya adalah menyantuni anak yatim.
Anak yatim adalah orang yang ditinggal wafat oleh orang tuanya terutama ayahnya yang menjadi tulang punggung keluarga. Seseorang tidak lagi disebut anak yatim kalau sudah mampu mandiri secara mental dan finansial.
Sampai kapan Anda berkewajiban mengurus atau mengasuhnya? Merujuk pada keterangan diatas maka sebenarnya yang bisa dijadikan pathokan adalah sampai anak tersebut dewasa atau mampun hidup mandiri. Kemandirian kemudian jangan dipaksakan sang anak untuk bekerja padahal usianya maupun psikisnya masih anak-anak. Demikian penjelasannya semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishshawab. [ ]
5
Redaksi: admin
830