PARENTINGISLAM.ID – – Harapan dan cita-cita dalam hidup berumah tangga adalah bahagia bersama hingga menua. Namun dalam perjalanannya kerap kali biduk itu diguncang badai dari yang ringan sampai yang dahsyat hingga mengaramkan kapal yang namanya rumah tangga.
Jika itu terjadi maka kata “perceraian” menjadi kalimat pamungkas untuk menutup lembaran harian rumah tangga yang telah dilalui tahunan, belasan hingga puluhan tahun. Apabila terjadi perceraian, di antara orang-orang yang ikut menanggung risiko itu adalah anak. Anak-anak akan terguncang secara psikologis dan merasa kehilangan sosok panutan dalam hidupnya.
Oleh karena itu, Rasulullah Saw. menilai bahwa di antara hal yang halal tetapi sangat dibenci Allah adalah perceraian. Pernyataan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam tersebut mengisyaratkan bahwa selama pernikahan itu bisa diperbaiki, berjuanglah untuk memperbaikinya.
Kalau seluruh jalan sudah ditempuh, tetapi tetap saja rumah tangga mengalami kekacauan, kegoncangan, bahkan petaka, jalur cerai baru bisa ditempuh. Islam menilai perceraian itu suatu pintu darurat yang boleh dibuka jika benar-benar tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri.
Lalu siapa yang paling berhak mengasuh anak-anak bila terjadi perceraian? Dikutip dari buku Membingkai Surga Dalam Rumah Tangga karya Aam Amiruddin & Ayat Priyatna Muhlis menjelasakan bahwa dari Abdullah bin ‘Amr meriwayatkan bahwa seorang perempuan pernah mengeluhkan keadaannya kepada Nabi Saw.,
“Ya Rasulullah, ini adalah anakku. Perutku pernah menjadi tempatnya tumbuh, pangkuanku tempat dia duduk, dan dadaku tempat dia minum. Kini ayahnya bersikeras untuk merebutnya dariku.”
Mendengar itu, Nabi Saw. bersabda, “Engkau lebih berhak mengasuhnya daripada ayahnya selama engkau tidak menikah lagi dengan laki-laki lain.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, dan Hakim)
Keterangan ini cukup jelas menegaskan bahwa yang paling berhak mengasuh anak apabila terjadi perceraian adalah ibunya. Dengan catatan, kalau anak itu belum mumayyiz (belum mampu menentukan pilihan).
Namun, apabila telah mumayyiz, dia diberi kebebasan untuk memilih; apakah ikut ibunya ataukah bapaknya. Simaklah riwayat berikut. Seorang perempuan menghadap kepada Rasulullah Saw. dan mengadu,
“Ya Rasulullah, mantan suamiku berniat mengambil putraku. Sedangkan dia sudah biasa mengambilkan air untukku dari sumur Abu Anbah dan dia pun membantuku dalam berbagai keperluanku.” Rasulullah Saw. berkata kepada anak itu, “Ini ayahmu dan ini ibumu. Pilihlah salah seorang di antara mereka untuk engkau hidup bersamanya.” Dan anak itu memilih ibunya dan ibunya langsung membawanya pergi (H.R. Abu Daud).
Keterangan ini menegaskan apabila seorang anak sudah bisa menentukan pilihannya, dia bisa memilih hal yang diinginkannya.
Ada hal penting yang harus ditegaskan bahwa walaupun anak itu diasuh oleh ibunya, ayahnya tetap berkewajiban untuk menafkahi sampai anak itu mandiri.
Haram hukumnya seorang ayah yang tidak memberikan nafkah pada anaknya dengan alasan karena anak memilih ikut dengan ibunya. Ayah tetap berkewajiban menafkahi anak-anaknya walaupun tidak berada dalam pengasuhannya.
Hak asuh ibu akan lepas apabila pengadilan menilai bahwa dia tidak mampu memberikan bimbingan dan pengasuhan. Misalnya, terbukti bahwa ibunya sering mabuk-mabukan, pemakai narkoba, rajin dugem, atau ahli maksiat.
Jika kondisinya semacam ini, hakim berhak memutuskan untuk menyerahkan pengasuhan anak itu kepada ayahnya. Artinya, pengasuhan diserahkan kepada ayahnya apabila ibunya dinilai memiliki cacat akhlak.
Bagaimana pun anak adalah permata, perhiasaan, inventasi dunia akhirat sehingga orangtua tidak boleh merusak apalagi menghancurkan masa depannya. Berpikir panjang dan mengutamaan kepentingan anak lebih mulia ketimbang menuruti ego pribadi (suami istri) sebelum memutuskan perceraian. [ ]
5
Redaksi: admin
830