Beranda Istri Cara Berbakti Kepada Suami Yang Sudah Meninggal, Lakukan Beberapa Hal Ini

Cara Berbakti Kepada Suami Yang Sudah Meninggal, Lakukan Beberapa Hal Ini

0
5463
PARENTINGISLAM.ID – – Setelah mengarungi biduk rumah tangga dengan selaga suka duka dan romantikanya selama bertahun-tahun dan dikaruniai buah kemudian ditinggal pergi suami tercinta untuk selamanya, tentu sebuah kesedihan dan kepiluan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hal ini bisa saja berlangsung selama beberapa hari, bulan bahkan ada yang tahunan sang istri masih menyimpan kesedihan.
Namun ada beberapa hal yang harus dipahami oleh seorang istri jika ditinggal meninggal oleh sang suami. Islam memberikan tuntunan itu agar kehormatan Muslimah tetap terjaga.  Pertama adalah bersikap ikhlas dan sabar menerima ujian dan cobaan dari Allah Ta’ala.
Sebagai Muslimah sejati, seorang istri yang Allah uji dengan kematian sang suami maka ia harus berusaha mengasah kesabaran jiwa dalam menghadapi musibah tersebut. Ingat firman Allah Ta’ala bahwa Sang Maha Pencipta akan menguji hamba-Nya dengan berbagai keadaan termasuk ditinggal mati suami,
Dan sungguh Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah ayat 155).
Kesabaran dalam menghadapi sebuah musibah adalah salah satu bentuk kebaikan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Demikian juga dalam haditsnya Rasulullah shalallahu alaihi wassalam menerangkan tentang keutamaan berlaku sabar ini.
Sungguh mengherankan perkara seorang Mukmin itu. Sesungguhnya seluruh perkaranya adalah baik baginya. Dan hal itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin. Jika mendapat sesuatu yang menggembirakan, dia bersyukur maka itu kebaikan baginya. Jika ditimpa keburukan, dia bersabar maka itu kebaikan baginya.” (HR Muslim)
Selain itu orang wanita yang ditinggal meninggal suaminya hendaknya tidak mengumbar kesedihannya. Apalagi, menyimpan kesedihan tersebut hingga berhari-hari dan menghabiskan harinya dengan menangis. Bersedih tentu dibolehkan tetapi jangan sampai berlebihan. Ia juga perlu memperhatikan anak-anaknya yang telah menjadi yatim.
Ini merupakan salah satu contoh ketidaksabarannya dalam menghadapi musibah yang ada. Bahkan, bisa saja karena perilaku sang istri, hal ini dicatat sebagai dosa bagi dirinya dan si mayit.
“Dua perkara yang terdapat pada manusia dan hal itu merupakan bentuk kekufuran adalah mencela nasab dan meratapi mayit.” (HR Muslim).
“seorang Muslimah yang terus meratapi mayit pun terancam dipakaikan celana dari timah cair dan baju dari kudis pada hari kiamat (HR Muslim).
Mereka pun akan dikenakan azab kubur. Hendaknya seorang wanita yang sedang mengalami musibah bisa bersabar dan mengucapkan istirja’ dan doa.
“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun,”  (QS al-Baqarah: 156.)
Nabi SAW pun mengajarkan doa kepada Ummu Salamah RA yang ditinggal wafat suaminya, “Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, berilah pahala atas musibah yang menimpaku dan gantikanlah dengan yang lebih baik.” (HR Muslim).
Setelah bisa melalui musibah ini de ngan kesabaran, seorang Muslimah akan menghadapi masa ‘Iddah. Ini adalah masa tunggu seorang wanita karena perceraian atau kematian suami. Seorang istri yang ditinggal wafat suaminya tidak lepas dari dua keadaan: hamil atau tidak hamil. Apabila wanita itu hamil maka ‘Iddahnya adalah saat melahirkan selu ruh kandungannya. Allah berfirman dalam QS ath-Thalaq ayat 4, “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”
Adapun bagi wanita yang tidak hamil maka masa ‘Iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Hal ini berlaku baik wanita itu sudah dikumpuli atau belum dikum puli, baik itu wanita muda maupun sudah tua.
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan 10 hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS al-Baqarah: 234).
Selama masa ‘Iddah, ada beberapa hal yang hendaknya diperhatikan oleh seorang wanita. Beberapa, di antaranya, wanita tersebut wajib tinggal di rumah di mana suaminya meninggal dunia, tidak berpindah tempat kecuali karena ada alasan syar’i. Rasulullah SAW bersabda kepada Furai’ah binti Malik RA,
“Tinggallah di rumahmu hingga masa ‘iddahmu selesai.” (HR Tirmidzi).
Dia pun harus berada di dalam rumah dan tidak keluar rumah kecuali ada kebutuhan mendesak. Muslimah juga wajib berkabung (ihdad) selama batas waktu yang telah ditentukan. Nabi pernah bersabda, “Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak boleh berkabung lebih dari tiga hari kecuali karena kematian suami, yaitu selama empat bulan 10 hari.” (HR Muslim).
Dia  hendaknya tidak memakai make up, perhiasan, pakaian yang bagus, atau wewangian. Hal ini berdasarkan hadis Ummu Salamah RA secara marfu’,
Seorang wanita yang ditinggal mati suaminya dilarang memakai pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur (pewarna merah), pakaian merah, mengenakan perhiasan, mewarnai kuku, dan celak.” (HR Bukhari).
Seorang muslimah yang ditinggal wafat suaminya maka sesungguhnya ia masih bisa berbakti dan berbuat baik kepada suaminya meski telah tiada, antara lain:
  1. Mendokannya
  2. Merawat dan membesarkan anak-anaknya
  3. Menjaga nama baik
  4. Tetap menjalin silaturahmi dengan keluarga almarhum suaminya
  5. Melunasi utang suaminya jika almarhum suaminya dulu punya utang yang belum terlunasi.
  6. Dan sebagainya
Kesedihan tentunya dibolehkan asal tidak berlebihan. Seorang muslimah yang ditinggal mati suaminya tidak boleh larut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Ingat bahwa dunia ini hanyalah sementara baik kesedihan maupun kebahagian. [ ]
5

Redaksi: admin

830