Tips Memilih Sarana Pendidikan Untuk Anak

0
484

 

Oleh: Syarif Hidayat*)

PARENTINGISLAM.ID – – Seringkali orangtua menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah bonafid dengan harapan memperoleh pendidikan yang ideal, baik dalam ilmu-ilmu sains maupun ilmu-ilmu sosial. Sayangnya, amat jarang orangtua memikirkan bagaimana keberlangsungan putra-putri mereka dalam menempuh pendidikan keagamaan mereka di madrasah-madrasah diniyyah, malah kadangkala seorang anak pergi ke madrasah atas inisiatif sendiri tanpa sepengetahuan orangtuanya.

Di sisi lain, tak sedikit orangtua lebih memedulikan tunjangan sekolah umum daripada tunjangan untuk kemajuan madrasah tempat anaknya belajar mengaji. Ironisnya, untuk infak ke sekolah umum selalu diprioritaskan tetapi ketika tagihan infak itu datangnya dari madrasah diniyyah, mereka dengan sinis mengatakan, “Harus ikhlas mengajarkan agama itu.”

Kenyataan-kenyataan di atas tak lepas dari sudut pandang masyarakat sekarang yang lebih mengorientasikan pendidikan anak-anaknya hanya untuk mengejar ijazah umum untuk kemudian dapat digunakan melamar pekerjaan di pabrik-pabrik yang semakin menjamur di perkotaan dan pedesaan.

Orientasi pendidik untuk duniawi ini berasal dari mindset (pola pikir) orangtua dalam memandang kebahagiaan dan kesejahteraan. Disangkanya bahwa bahagia itu identic dengan berlimpahnya harta kekayaan, sedangkan kekurangan materi identic dengan kesengsaraan hidup di dunia. Padahal, pola pikir materialism seperti itu pernah dikritik Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits berikut ini.

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ– رَضِيَ اللهُ عَنْهُ –  قَالَ: مَرَّ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَا تَقُولُونَ فِي هَذَا الرَّجُلِ؟». قَالُوا: رَأْيَكَ فِي هَذَا نَقُولُ هَذَا مِنْ أَشْرَفِ النَّاسِ هَذَا حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ يُخَطَّبَ وَإِنْ شَفَعَ أَنْ يُشَفَّعَ وَإِنْ قَالَ أَنْ يُسْمَعَ لِقَوْلِهِ. فَسَكَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَرَّ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَا تَقُولُونَ فِي هَذَا؟ ». قَالُوا: نَقُولُ وَاللَّهِ! يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا مِنْ فُقَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ هَذَا حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ لَمْ يُنْكَحْ وَإِنْ شَفَعَ لَا يُشَفَّعْ وَإِنْ قَالَ لَا يُسْمَعْ لِقَوْلِهِ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم:َ « لَهَذَا خَيْرٌ مِنْ مِلْءِ الْأَرْضِ مِثْلَ هَذَا ». – سنن ابن ماجه (12/ 146 رقم 4110) –

Dari Sahl ibn Sa’ad al-Sa’idiy – semoga Allah meridhainya – beliau mengatakan, suatu waktu lewat seorang laki-laki di hadapan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa pendapat kalian mengenai orang itu?” maka mereka menjawab, “(Mungkin) pendapat Anda mengenai orang ini sependapat dengan pandangan kami bahwa orang ini di antara kalangan orang yang mulya (terpandang), sangat pantas bila ia meminang maka lamarannya akan diterima, jika meminta bantuan niscaya akan dibantu, dan jika ia berkata maka pasti perkataannya didengar.” Mendengar hal itu, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam diam (tidak berkomentar).

Lalu, lewat seorang lagi, maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bertanya kembali, “Bagaimana pendapat kalian mengenai orang ini?” Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, demi Allah! Orang ini menurut kami termasuk di antara orang-orang fakir (miskin) kaum muslimin, maka pantas jika ia mengkhitbah (seorang perempuan) maka tak mungkin dinikahkan dengannya. Jika ia minta tolong, siapa yang sudi menolongnya, dan jika ia berbicara maka tentu takkan ada orang yang mau mendengar omongannya.” Maka, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh orang (kedua) ini lebih baik daripada orang (pertama) walau sepenuh bumi!” (H.R. Ibn Majah dan hadits ini dinilai shahih oleh Imam Albani)

Hadits di atas mengisyaratkan bahwa penampilan lahir seseorang belum tentu mencerminkan kualitas pribadi orang yang menyandangnya. Dengan kata lain, bisa jadi secara penampilan seorang itu dianggap hina tetapi sejatinya ia merupakan orang terbaik dalam pandangan Allah.

Dengan demikian, perhatian pada label pendidikan bertarif internasional, misalnya, belum tentu menunjukkan kualitas lulusan yang sesuai harapan; yakni memiliki head, hand, and heart yang baik. Atau istilah lain, lulusan yang memiliki jiwa yang takwa, cerdas, dan terampil.

Sarana pendidikan memang perkara yang penting, tetapi bukan segala-galanya. Justru, sebagaimana dikemukakan Prof. Ahmad Tafsir, bahwa core (inti) pendidikan sebenarnya terletak pada empat persoalan, yaitu: tujuan, kurikulum, proses, dan evaluasi pendidikan.

Ini artinya, jika sebuah lembaga pendidikan memiliki tujuan yang jelas kemudian dijewantahkan dalam kurikulum yang tersusun dengan benar dan diaplikasikan dalam proses belajar dan mengajar yang baik, dan selalu dievaluasi secara berkala, niscaya output pendidikan akan ideal.

Sementara tujuan pendidikan dalam ajaran Islam itu bukan sekedar mencetak generasi yang cerdas melainkan sebagaimana Prof. Syed Muhammad Naquib Alatas katakan, bahwa tujuan (goal) pendidikan sebenarnya untuk menjadikan muslim yang baik atau sekurang-kurangnya menjadikan peserta didik sebagai good man yang mengerti akan adab Islam. Peserta didik yang sadar dan mengerti tujuan pokok eksistensi dirinya di alam fana ini.

Dengan demikian, meski sekolah yang dipilih bukan sekolah unggulan atau bonafid tetapi bila memiliki tujuan yang benar, itu jauh lebih baik daripada sekolah-sekolah berkelas namun amat jauh dari nilai-nilai keagamaan.

Kita selaku orangtua seharusnya menyadari bahwa memiliki anak shaleh jauh lebih berharga ketimbang kesuksesan anak di dalam ilmu sains. Ungkapan ini tentu saja tidak bermaksud merendahkan nilai sains, tetapi keshalehan anak itu merupakan prinsip kehidupan dan kebutuhan primer orangtua. Meminjam istilah Dr. Syamsuddin Arif, keshalehan anak itu esensial sedangkan kepiawaian anak dalam bidang sains adalah asesoris.

Oleh karenanya, perhatian orangtua terhadap keberlangsungan madrasah-madrasah seharusnya lebih tinggi, atau sekurang-kurangnya seimbang dengan perhatiannya terhadap sekolah-sekolah umum. Sarana-sarana pencetak generasi shaleh sudah saatnya diprioritaskan karena mengkaji ilmu-ilmu agama (diniyyah islamiyyah)  merupakan fardhu ‘ain bagi setiap individu muslim. Sehingga, belum bisa disebut sukses bila mempunyai anak yang hapal rumus-rumus matematika sementara hapalan al-Qur’an atau haditsnya masih minim.

Hal itu tidak berlebihan mengingat tujuan hidup seorang muslim adalah meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sebagaimana doa sapu jagat yang selalu dipanjatkannya setiap saat, “Rabbanâ âtinâ fi al-dunyâ hasanah wafi al-âkhirah hasanah wa qinâ ‘adzâb al-nâr”.

Tak pelak, untuk mewujudkan prinsip hidup hasanah fi al-dunyâ wa al-âkhirah menuntut kita untuk lebih mengorientasikan hidup ukhrawi; bukan hanya seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat, tetapi justru harus lebih dominan perhatiannya terhadap urusan-urusan ukhrawi.

Untuk itu, memasukkan anak ke sekolah tidak boleh sekedar melihat menterengnya bangunan sekolah semata, tetapi patut pula untuk meninjau sejauhmana proses pendidikan keagamaan di sekolah tersebut. Bahkan, bila kita memerhatikan pernyataan Dr. Adian Husaini akan semakin jelas posisi sarana bukan prioritas pertimbangan kita dalam menyekolahkan anak. Karena menurut beliau, yang dituntut dalam Islam itu mencari ilmu (thalab al-‘ilmi) bukan mencari sekolah (thalab al-madrasah).

Maksudnya, kita disuruh menuntut ilmu setinggi-tingginya bukan meraih sekolah seluhur-luhurnya. Dengan ungkapan sederhana dapat dimaknai bahwa yang menjadi kewajiban kita itu mencari ilmu bukan memerhatikan gengsi sekolah. Hal ini dikarenakan tidak selamanya orang yang berpendidik tinggi lebih berilmu daripada lulusan-lulusan pesantren. Kita bisa saksikan banyak orang yang mengukir sejarah namun mereka tidak pernah duduk di bangku-bangku sekolah formal.

Sekedar menyebut contoh, Hamka bukanlah lulusan perguruan tinggi namun kualitas keilmuannya tidak pernah diragukan orang. Juga, Muhammad Natsir tidak pernah mengenyam pendidikan formal di sebuah sekolah tinggi, tetapi tidak ada yang menyangsikan keilmuan dan kepakarannya.

Begitu pula, dengan pendiri Hidayatullah, Ust Abdullah Said, beliaupun bukan lulusan doctoral namun keilmuannya jauh lebih mumpuni ketimbang doktor pendidikan Islam yang masih terkontamimasi pemikiran SEPILIS (sekularisme, pluralism, dan liberarlisme).

Alhasil, mari kita kembali merekontruksi pemikiran kita mengenai makna sarana pendidikan, karena kekurangberhasilan kita mencetak generasi terbaik selama ini jangan-jangan beawal dari kesalahpandangan kita mengenai makna sekolah umum dan sekolah agama.

Akibatnya, kita lebih mengutamakan menyekolahkan anak ke sekolah bonafid sembari memandang mata sebelah kepada madrasah-madrasah di lingkungan kita sendiri. Wallâhu a’lam.[ ]

*) Penulis adalah peserta KSU DDII- Baznas program doctoral (S3) di UIKA Bogor.

5

Redaksi: admin

837