PARENTINGISLAM.ID – – Idealnya setiap pasangan yang hendak menikah atau membangun rumah tangga sudah merancang visi missi kedepan sehingga menikah bukan sekedar tuntutan hidup atau hanya memenuhi hasrat biologis apalagi sekedar ikut trend, misalnya teman-temannya menikah ikut menikah. Kemudian setelah menikah masih bingung merancang masa depan.
Ingat, boleh dikata dan ini juga fakta bahwa lebih dari separuh hidup kita ini kita habiskan bersama pasangan (suami istri). Ada yang hidup bersama suami atau istri hingga 50 tahun , 70 tahun, bisa dibayangkan jika kebersamaan yang lama tersebut tidak dibangun dengan pondasi yang kokoh dan visi missi keluarga yang jelas.
Nah ,berbicara peran ibu dalam menyiapkan atau melahirkan shalih shalihah atau istilahanya generasi qur’ani tidak bisa dilihat secara parsial, tetapi harus komprehensif atau menyeluruh. Persiapan tersebut harus sudah dimulai dan dipahami sejak proses memililih calon pasangan. Calon ibu (istri) yang otomatis juga dari calon ayah (suami) harus mempunyai paradigma yang benar tentang generasi qur’ani.
Ketika anak-anaknya lahir, orangtua bukan sekadar mengungkapkan rasa syukur dengan perasaan bahagia, tetapi harus sudah mempunyai rancangan tentang cara mendidik anak secara baik dan benar.
Untuk melahirkan generasi yang saleh dan salehah (qur’ani) tidak bisa dilakukan secara instan atau mendadak. Perlu dipahami bahwa generasi saleh dan salehah juga lahir dari orangtua yang saleh dan salehah pula.
Untuk itu, ada beberapa tahap yang mestinya disiapkan bagi orangtua, baik pihak istri (ibu) maupun dari suami (ayah) itu sendiri, yakni fase sebelum menikah, fase membangun pernikahan atau keluarga, fase ketika dikaruniai anak.
Ketika semua fase tersebut telah disiapkan secara matang, maka kelak diharapkan tidak ada atau tidak muncul kekagetan di kemudian hari, khususnya bagi ibu. Kekagetan atau perasaan kebingungan yang dihadapi ibu muda ketika hendak mengasuh dan mendidik anak bisa jadi disebabkan oleh ketidaksiapannya dalam menyambut dan menerima kehadiran amanah (anak) Allah Swt. tersebut. Untuk itu, kesiapan tersebut menjadi hal penting yang harus dimiliki calon orangtua.
Dikisahkan, ada seorang anak yang berdialog dengan Khalifah Umar bin Khattab r.a. Dia mengungkapkan bahwa orangtuanya sudah memvonisnya sebagai anak yang durhaka. Merasa keberatan dengan sebutan itu, dia pun bertanya kepada Sang Khalifah mengenai kewajiban orangtua kepada anak-anaknya. Lalu, Khalifah Umar r.a. menjelaskan bahwa kewajiban orangtua ada tiga.
Pertama, menjadi calon ibu yang salehah bagi putra-putrinya. Kedua, memberi nama yang baik. Ketiga, mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anaknya. Mendengar penjelasan tersebut, sang anak mengungkapakan bahwa ibunya bukan orang baik-baik, nama yang diberikan kepadanya pun bukan sebuah nama yang baik, dan orangtuanya tidak pernah mengajarkan Al-Qur’an.
Kisah tersebut barangkali bisa menjadi ibrah (pelajaran) bahwa menyiapkan atau memilih pasangan yang saleh dan salehah juga fondasi awal untuk memperoleh generasi yang saleh dan salehah pula. Jangan asal pilih pasangan hidup karena kriterianya pun sudah disebutkan oleh Rasulullah Saw. Lalu, saat memberi nama anak juga harus yang baik dan bermakna karena nama berarti doa.
Kemudian, yang lebih utama adalah orangtua harus mengajarkan Al-Qur’an kepada anaknya. Untuk itu, orangtua juga harus terlebih dulu bisa membaca dan paham Al-Qur’an sebelum bisa mengajarkan kepada anak-anaknya.
Lantas, bagaimana seharusnya seorang ibu mendidik dan mengasuh anak yang sesuai dengan panduan Al-Qur’an? Pendidikan tersebut bisa dimulai sejak janin dalam kandungan. Ketika seorang ibu sudah dinyatakan hamil, maka segala sesuatunya, termasuk mental spiritualnya harus dipersiapkan. Ucapkan tutur kata yang baik dan positif.
Selain itu, perbanyak bacaan Al-Quran. Artinya, untuk melahirkan generasi qur’ani, prosesnya telah dilakukan sejak anak belum lahir. Ketika lahir, beri anak nama yang baik, yang mengandung doa dan harapan bagi anak dan orangtuanya. Begitu pula dalam mendidiknya harus dengan perilaku baik dan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an. Tidak kalah pentingnya adalah asupan makanannya harus baik dan halal (halalan thayyiban), baik unsurnya maupun cara memperolehnya.
Semua hal tersebut sangat berkaitan. Misalnya, ketika makanannya halal, tetapi pola pengasuhannya salah, maka hasilnya bisa tidak sesuai harapan. Begitupun sebaliknya, pola pengasuhannya sudah benar, tetapi asupan makanannya dari sumber yang tidak halal atau subhat, maka hasilnya tidak akan sesuai harapan juga.
Saat pengasuhan, bukan sekadar dibacakan Al-Qur’an secara tekstual, tetapi juga diajari atau dipahamkan nilai-nilai kandungan Al-Qur’an (konstektual) dengan bahasa yang bisa dipahami anak sesuai batasan usianya. Menyiapkan lingkungan yang kondusif akan mendukung pola pengasuhan yang islami atau qur’ani.
Berikutnya, sesuai dengan perkembangan usianya, orangtua juga bisa berdialog dengan anak-anak tentang substansi Al-Qur’an, misalnya tentang sikap hormat dan patuh kepada orangtua. Anak dibiasakan berdoa, pamit ketika hendak pergi atau cium tangan orangtuanya. Ini adalah salah satu implementasi dari nilai-nilai Al-Qur’an. Begitu juga ketika melihat bakat anak yang kuat, misalnya dalam menghafal Al-Qur’an, maka tidak ada salahnya untuk diarahkan dan dimotivasi agar masuk pesantren Al-Qur’an. Ketika semua ikhtiar telah kita tempuh, maka jangan lupa di ujungnya adalah doa.
Namun, terkadang perilaku seorang anak menjadi ujian bagi ibunya. Setelah orangtua mendidiknya dengan baik, perilakunya malah tidak sesuai dengan yang diharapkan. Di sini, orangtua harus mempunyai kesadaran penuh bahwa setiap anak mempunyai kelebihan, kekurangan, bakat, minat berbeda-beda. Jangan memaksakan suatu kehendak yang membuat anak tidak sanggup melakukannya.
Selain itu, jangan membandingkan anak yang satu dengan yang lain. Misalnya anak pertama sangat kuat dalam membaca, lalu anak kedua yang kuat dalam menghafal. Kita harus yakin setiap anak dikaruniai bakat dan kemampuan yang berbeda. Yang hafalannya kuat bisa kita arahkan untuk menghafal Al-Qur’an, sementara yang lain bisa kita arahkan pada bidang-bidang lain.
Bumi ini luas, negara ini mungkin bukan hanya membutuhkan para penghafal Al-Qur’an, tetapi juga bidang-bidang yang lain. Lalu, mengapa kita tidak arahkan anak tersebut pada bidang yang dibutuhkan masyarakat? Misalnya bidang fisika, matematika, sejarah, hukum, sosiologi, komunikasi, dan lain-lain. Hal ini perlu kita lakukan karena anak punya minat dan bakat yang berbeda.
Sekali lagi menurut hemat saya, generasi qurani itu bukan sekedar hafal Al Quran melainkan bagaimana nilai-nilai atau kandungan Al Quran itu bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bisa hafal Al Quran tentu bagus namun hafal Al Quran dan mampu mengimplementasikan Al Quran dalam hidup bermasyarakat tentu lebih bagus. [ ]
4
Redaksi: admin
890