PARENTINGISLAM.ID – – Aksi terorisme sekarang ini telah melibatkan unsur keluarga di dalamnya. Bahkan kasus pengeboman di Surabaya, Jawa Timur pada tahun 2018 pun merupakan aksi yang didalangi oleh satu keluarga. Padahal sebelumnya, menurut kelompok Jamaah Islamiyah (JI) ataupun Negara Islam Indonesia (NII), peran wanita dan anak-anak hanya sebagai supporting system, bukan actor utama atau pelaku.
Prof. Oliver Roy, seorang ahli di bidang terorisme dan ‘jihad’ dari Prancis menyatakan bahwa kalangan muda dengan penghayatan agama yang kurang akan rentan terbujuk rayu oleh kelompok-kelompok radikal. Keterlibatan anak-anak dan keluarga ini dikarenakan lebilnya cara berpikir dan memiliki semangat juang dalam beragama yang berapi-api, namun tidak didasari dengan ilmu yang mumpuni.
Gerakan radikalisme menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk keluarga, khususnya orang tua. Perlu adannya kerjasama antara suami-istri dalam tarbiyatul awlad atau pendidikan bagi anak-anak. Peran orangtua disini adalah melakukan kontrol terhadap apa saja yang dipelajari dan diserap oleh anak-anak.
Ayah wajib mengontrol dan menyaring khutbah-khutbah Jum’at yang diikuti oleh anak, karena tidak jarang khutbah jum’at justru dinilai menyuburkan intoleransi kepada paham atau agama yang berbeda. Selain itu, lingkungan masyarakat oun sangaat menentukan karakter anak. Hidup di lingkungan baik, maka anak akan baik. Namun jika ia tumbuh di lingkungan yang bermasalah, maka anak pun akan bermasalah.
Oleh karena itu, orang tua perlu menerapkan gaya pengasuhan yang demokratis sehingga mampu menjadi media deredikalisme. Pendidikan dengan gaya demokratis adalah orangtua yang mengasuh anak-anaknya dengan kontrol serta kehangatan keluarga. Orangtua dapat mengarahkan aktivitas anak, memberikan dorongan, menghargai tingkah laku anak, serta membimbingnya.
Sumber : islami.co
3
Red: admin